Senin, 14 Juni 2010

Dampak Globalisasi pada berbagai bidang kehidupan

“Dampak Globalisasi”
pada berbagai bidang kehidupan

Globalisasi menunjuk pada proses makin menguatnya kesadaran mengenai dunia sebagai satu kesatuan. Sedangkan era globalisasi merupakan zaman di mana pengaruh antanegara di dunia ini cepat menyebar. Di era globalisasi ini jika ada kejadian atau peristiwa di suatu wilayah, maka berpengaruh pula terhadap wilayah lain.
Globalisasi telah mampu mendorong terjadinya perubahan dunia. Globalisasi ditandai dengan menyatunya perekonomian nasional dengan perekonomian dunia. Proses globalisasi diyakini akan memberikan keuntungan bagi Negara-negara yang terlibat di dalamnya. Adanya globalisasi akan mendorong Negara untuk mengekspor apa yang mereka produksi dan mengimpor apa yang tidak mereka produksi. Negara Indonesia juga berperan serta dalam era globalisasi.
Globalisasi dapat berarti peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia. Globalisasi dapat terjadi melalui perdagangan, investasi, perjalanan, dan kebudayaan.
Adanya globalisasi mampu membuat dunia tampak sempit, dahulu apabila kita akan menonton siaran sepak bola kita harus ke negarayang mengadakan pertandingan. Tapi sekarang kita tidak perlu kemana-mana, kita cukup melihat di televisi. Ketika akan menghubungi seseorang kita harus bertemu dengan orang tersebut, tetapi sekarang dengan adanya pesawat telepon kita tidak perlu bertemu langsung cukup berbicara melalui telepon saja. Adanya globalisasi membawa manfaat bagi umat manusia tetapi juga dampak buruknya.

Dampak Globalisasi pada bidang Ideologi

a. Dampak positif :
Membuat pemahaman dan pengamalan Pancasila selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
b. Dampak negatif :
Globalisasi mampu meyakinkan kepada sementara masyarakat Indonesia bahwa liberalism dapa membawa manusia kearah kemajuan dan kemakmuran. Tuntutan kehidupan yang demokratis, kebebasan yang luas, hak asasi manusia, serta keterbukaan dalam berbagai bidang kehidupan seperti di Negara-negara Barat, kemungkinan akan menggoyahkan pandangan hidup dan dasar Negara Pancasila.
Hal ini akan mempengaruhi pikiran sebagian masyarakat Indonesia sehingga bias tertarik dengan ideologi bangsa lain, ditambah bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis dan kesulitan hidup berkepanjangan, tidak menutup kemungkinan sebagian masyarakat akan berpaling dari ideologi Pancasila dan mencari alternatif ideologi lain seperti halnya liberalisme.

Dampak Globalisasi pada bidang Politik
a. Dampak positif :
Menawarkan kehidupan politik yang demokratis, dengan mengutamakan keterbukaan, jaminan hak asasi, dan kebebasan, berpengaruh kuat terhadap pikiran maupun kemauan bangsa Indonesia.
b. Dampak negatif :
Adanya ancaman disintegrasi bangsa dan Negara yang akan menggoyahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).





Dampak Globalisasi pada bidang Sosial
a. Dampak positif :
Para generasi bangsa mampu mendapatkan sarana-sarana yang memungkinkan mereka memperoleh informasi dan berhubungan dengan lebih efisien dengan jangkauan yang lebih luas.
b. Dampak negatif :
Generasi muda yang tidak siap akan adanya informasi dengan sumber daya yang rendah akan meniru hal-hal yang tidak baik seperti adanya bentuk-bentuk kekerasan, tawuran, melukis di tembok-tembok, dan lain-lain.

Dampak Globalisasi pada bidang Ekonomi
a. Dampak positif :
Mampu memacu produktivitas dan inovasi para pelaku ekonomi agar produk yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk-produk yang lain.
b. Dampak negatif :
Menimbulkan sifat konsumerisme di kalangan generasi muda.

Dampak Globalisasi pada bidang Budaya
a. Dampak positif :
Adanya rasa solidaritas social yang tinggi antarbangsa di berbagai Negara.
b. Dampak negatif :
Segi budaya merupakan segi yang paling rentan terkena dampak negatifnya. Bentuk informasi dan sarana yang dapat diterima dengan bebas mampu mempengaruhi pola bertindak dan berfikir generasi muda.


Sumber :
1. Indrastuti, dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial, PT Hamudha Prima Media, Jakarta, 2008.
2. Suprapto, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Bumi Aksara, Jakarta, 2007.

Implementasi kewarganegaraan

Lepas dari berbagai keberatan seperti dimuat di media (seperti RUU Kewarganegaraan belum lindungi perempuan, Kompas, 10/7), pengesahan RUU Kewarganegaraan menjadi UU Kewarganegaraan di DPR (11/7) layak diapresiasi.

Penulis sepakat pengesahan UU ini memang revolusioner karena di antaranya mengakhiri polemik tentang siapakah warga negara Indonesia asli. Harus diakui, dari 17/8/1945 hingga 11/7/2006, kata-kata asli itu sering menyita energi. Bahkan dalam perjalanan kita, banyak nyawa menjadi korban dalam kerusuhan rasial dengan korban warga keturunan yang sering dianggap orang "asing" atau sekadar second class people atau warga kelas dua.

Ironisnya, selama ini diskriminasi diberi landasan hukum, seperti UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 dan UU lain yang mewajibkan orang membuktikan diri sebagai WNI dengan selembar surat bernama Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Padahal, terkait etnis atau asal-usul, kita tidak bisa meminta kepada Sang Pencipta agar dilahirkan sebagai etnis tertentu.

Betapa memilukan, ketika orang sudah bertahun-tahun lahir dan hidup di negeri ini, tetapi secara hukum dinyatakan atau diolok-olok sebagai bukan orang Indonesia. Coba tanyakan bagaimana perasaan Ivana Lie atau Susi Susanti atau orang lain yang sudah membela merah putih di dunia internasional, pernah mentok dan dinyatakan secara hukum sebagai bukan warga negara Indonesia karena tidak punya SBKRI?

Karena itu, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru, apresiasi layak diberikan kepada Pansus RUU Kewarganegaraan, juga kepada Prof Eko Sugitario, Pakar Hukum Tata Negara Ubaya dan aktivis multietnis di Surabaya, yang sejak 2002 terus menggodok dan mengupayakan legal drafting UU ini.

Baru langkah awal

Meski begitu, pengesahan UU ini baru merupakan langkah awal untuk mengakhiri segala praktik diskriminasi. Apalagi setelah pengesahan UU ini penulis mendapat berondongan pertanyaan bagaimana petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya atau singkatnya implementasi UU ini di lapangan. Bagaimana nasib ratusan ribu warga keturunan, seperti warga China Benteng yang selama ini tidak memiliki KTP atau akta kelahiran tetapi sudah bergenerasi tinggal di Indonesia? Otomatiskah mereka menjadi WNI? Bagaimana pula mereka akan mengurus hal lain, tetapi terganjal tidak memiliki KTP atau akta kelahiran, apa solusinya? Karena itu, sebagai follow up UU Kewarganegaraan mendesak dibuat peraturan pemerintah sebagai implementasi UU ini.

Sekali lagi, pengesahan UU ini baru langkah awal dari upaya menghapus praktik diskriminasi. Mengapa? Dengan pengesahan UU ini, negara atau pemerintah berupaya mencabut produk hukum yang diskriminatif yang selama ini diterapkan. Dengan kata lain, orang-orang yang selama ini tidak termasuk kategori WNI asli, hendak dirangkul dan diakui eksistensinya oleh negara atau pemerintah sebagai bagian sah bangsa atau negeri ini. Bahkan UU ini menjamin dan menegaskan para pejabat negara yang berani melakukan praktik diskriminasi, seperti birokrat di imigrasi yang meminta SBKRI, bisa dikenai sanksi hukum satu tahun penjara. Jelas ini membanggakan karena selama ini oknum-oknum yang mengharuskan SBKRI itu tega berdiri di atas penderitaan orang lain. Ratusan ribu bahkan jutaan orang sudah menjadi korban penerapan SBKRI.

Menghargai keragaman

Melalui UU Kewarganegaraan yang baru disahkan, hukum kita telah mengupayakan jaminan, siapa pun dari latar belakang etnis apa pun bisa menjadi bagian integral bangsa ini atau menjadi warga negara Indonesia asal dilahirkan di Indonesia dan sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri (Pasal 2).

Spirit pasal itu amat dalam karena keragaman yang selama ini de facto ada, secara de iure atau secara hukum diakui keabsahannya oleh negara atau pemerintah. Dengan ini diharapkan keragaman dan perbedaan yang selama ini ada (seperti etnis) bisa menjadi potensi positif untuk membangun bangsa ke depan menuju bangsa besar yang menghargai keragaman dan perbedaan. Bukan sebaliknya, perbedaan menjadi modal untuk menghancurkan masa depan bangsa.

Lagi, UU Kewarganegaraan ini masih merupakan langkah awal. Lewat UU ini negara menjamin diakhirinya diskriminasi. Bagaimana praktiknya nanti? Ini adalah pekerjaan rumah bagi segenap elemen dan tiap anak bangsa. Sebab apalah artinya sebuah payung hukum bernama UU Kewarganegaraan yang menjamin diakhirinya diskriminasi, tetapi jika di alam nyata praktik berbangsa dan bernegara, diskriminasi, masih bercokol di dalam hati?

Apalah arti bahasa hukum, tidak ada lagi pemisahan pribumi dan nonpribumi, tidak ada asli atau bukan, tetapi di alam nyata orang suka menunjuk hidung atau berbisik menunjukkan etnis dengan nada sinis? Karena itu setelah UU Kewarganegaraan ini disahkan, menjadi PR bagi kita untuk bisa menerima perbedaan (seperti etnis) dengan keikhlasan dan tanpa prasangka.

Semoga dengan diresmikannya UU ini, ruang kebersamaan kita bukan kian menyempit, justru makin luas dan lapang, sehingga kita bisa berbuat sesuatu yang lebih bermakna bagi bangsa daripada harus berpolemik atau berkonflik etnis yang hanya membuang energi. Negeri ini akan jaya jika perbedaan dan potensi tiap warganya bisa diakomodasi dan diakui.

PENGERTIAN KEWARGANEGARAAN DAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Pengertian Kewarganegaraan
Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan warga negara. Kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan. Adapun menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan negara.

Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis
- Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum anatara orang-orang dengan negara.
- Kewarganegaraan dalam arti sosiologis, tidak ditandai dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosionak, seperti ikartan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air.
b. Kewarganegaraan dalam arti formil dan materil.
- Kewarganegaraan dalam arti formil menunjukkan pada tempat kewarganegaraan. Dalam sistematika hukum, masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik.
- Kewarganegaraan dalam arti materil menunjukkan pada akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara.

B. Pendidikan Kewarganegaraan
Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.
• Standar isi pendidikan kewarganegaraan adalah pengembangan :
1. nilai-nilai cinta tanah air;
2. kesadaran berbangsa dan bernegara;
3. keyakinan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara;
4. nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. kerelaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara, serta
6. kemampuan awal bela negara.
• Pengembangan standar isi pendidikan kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan dalam rambu-rambu materi pendidikan kewarganegaraan.
• Rambu-rambu materi pendidikan kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi materi dan kegiatan bersifat fisik dan nonfisik.
• Pengembangan rambu-rambu materi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri sesuai lingkup penyelenggara pendidikan kewarganegaraan.


Entry Filed under: Pengertian dan